Pemerintah Indonesia Tegaskan Komitmen Jaga Ekosistem Digital Sehat
Pemerintah Indonesia resmi mengundang dua raksasa media sosial, TikTok dan Meta, untuk duduk bersama membahas langkah konkret menekan penyebaran hoaks dan konten provokatif. Dengan jumlah pengguna TikTok dan Instagram yang masing-masing melampaui 100 juta di Indonesia, langkah ini dinilai penting demi menjaga ekosistem digital tetap sehat, aman, dan bebas dari informasi menyesatkan.
Hoaks Jadi Ancaman Serius di Era Digital
Fenomena hoaks bukan hal baru di Indonesia. Data dari Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) mencatat, sepanjang 2024 saja terdapat lebih dari 10.000 temuan konten hoaks yang beredar di berbagai platform media sosial. Konten tersebut mencakup isu politik, kesehatan, hingga keuangan digital yang berpotensi merugikan masyarakat.
Indonesia sebagai salah satu negara dengan pengguna internet terbesar di dunia menghadapi tantangan besar: bagaimana menjaga ruang digital tetap produktif tanpa dikuasai oleh informasi palsu. TikTok dan Meta—melalui platform populer mereka, TikTok, Instagram, dan Facebook—memegang peran vital dalam mengendalikan arus informasi.
Pemerintah Undang TikTok & Meta: Langkah Preventif
Dalam agenda yang digelar pekan ini, pemerintah melalui Kominfo menyatakan bahwa undangan kepada TikTok dan Meta bertujuan untuk menyepakati langkah konkret dalam mencegah dan menangani penyebaran hoaks.
“Dengan lebih dari 100 juta pengguna aktif, platform seperti TikTok dan Instagram memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap opini publik. Karena itu, kita perlu sinergi agar ruang digital kita lebih sehat,” ungkap pejabat Kominfo dalam pernyataan resmi.
Diskusi ini juga menyoroti kebutuhan transparansi algoritma, penguatan fact-checking, serta peningkatan literasi digital masyarakat.
Mengapa Indonesia Jadi Sorotan?
Indonesia berada di peringkat keempat pengguna internet terbesar di dunia, dengan lebih dari 220 juta pengguna aktif. Dari jumlah tersebut, sekitar 80% merupakan pengguna media sosial aktif.
TikTok tercatat memiliki lebih dari 124 juta pengguna di Indonesia per Juni 2025, sementara Instagram (di bawah Meta) mencapai 112 juta pengguna. Angka ini menempatkan Indonesia sebagai salah satu pasar terbesar kedua setelah India bagi kedua platform.
Dengan skala tersebut, tak heran pemerintah Indonesia mengambil langkah strategis mengundang keduanya untuk duduk bersama membahas solusi.
Akar Masalah: Algoritma, Literasi, dan Bisnis Konten
Penyebaran hoaks tidak semata-mata muncul dari niat jahat individu. Ada tiga faktor utama yang sering disebut para pakar:
Algoritma Platform
Algoritma media sosial cenderung mendorong konten yang viral, meskipun konten tersebut belum tentu benar. Sensasi dan provokasi sering lebih cepat menyebar daripada fakta.
Rendahnya Literasi Digital
Survei APJII (Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia) menunjukkan bahwa 40% pengguna internet di Indonesia masih kesulitan membedakan berita fakta dan opini.
Motivasi Ekonomi
Tidak sedikit pihak yang sengaja memproduksi hoaks demi mendapatkan traffic, popularitas, atau keuntungan finansial melalui iklan dan monetisasi.
Kolaborasi Jadi Kunci
Undangan pemerintah kepada TikTok dan Meta bukan hanya langkah formalitas, tetapi juga upaya untuk mendorong kolaborasi multi-pihak. Dalam diskusi ini, pemerintah menekankan tiga agenda utama:
- Peningkatan Moderasi Konten: Penguatan sistem deteksi dini hoaks berbasis AI.
- Kerjasama dengan Lembaga Fact-Checking: Mendorong peran media independen untuk validasi informasi.
- Edukasi Publik: Kampanye literasi digital berkelanjutan, terutama bagi generasi muda yang menjadi pengguna utama TikTok dan Instagram.
Solusi Jangka Panjang: Data, Keamanan, dan Transparansi
Selain peran platform, masyarakat dan bisnis juga perlu meningkatkan kesadaran akan pentingnya perlindungan data pribadi. Hoaks sering berkembang dari kebocoran data, manipulasi identitas, hingga penyalahgunaan informasi digital.
Inilah mengapa solusi keamanan digital semakin relevan. Layanan seperti verifikasi identitas digital, tanda tangan elektronik, serta proteksi dokumen online kini menjadi kebutuhan, bukan lagi opsi. Dengan penerapan teknologi yang tepat, risiko penyalahgunaan data untuk kepentingan hoaks dapat diminimalisir.
Tantangan ke Depan
Meski langkah pemerintah patut diapresiasi, tantangan tetap besar. Pengendalian hoaks tidak hanya soal teknologi, tapi juga perubahan budaya digital. Pengguna perlu dilatih untuk lebih kritis, sementara perusahaan platform harus lebih transparan dalam praktik bisnis mereka.
“Hoaks tidak bisa diberantas 100%, tapi bisa ditekan dengan kerja sama lintas sektor,” ujar seorang pakar keamanan digital.
Kesimpulan
Langkah Indonesia mengundang TikTok dan Meta adalah sinyal kuat bahwa pemerintah serius menjaga ruang digital tetap sehat. Namun, kerja sama ini perlu diikuti dengan regulasi yang jelas, literasi digital masyarakat, dan adopsi teknologi keamanan data yang lebih masif.
Saatnya Kelola Data Lebih Aman
Di era digital saat ini, keamanan data adalah pondasi utama melawan hoaks. Solusi seperti verifikasi identitas, autentikasi, hingga proteksi dokumen online bisa membantu individu maupun bisnis menjaga kepercayaan.J
ika ingin tahu bagaimana teknologi bisa membuat proses bisnis dan komunikasi lebih aman, cepat, dan efisien, kunjungi beeza.id.