Blog Inovasi Fintech

Ancaman Scam Meningkat, Fintech Perkuat Proteksi Keuangan Digital

Di tengah pesatnya pertumbuhan ekosistem keuangan digital, ancaman scam semakin mengkhawatirkan. Modus penipuan makin canggih, mulai dari akun palsu hingga eksploitasi celah transaksi. Fintech dituntut untuk memperkuat sistem proteksi agar kepercayaan publik tetap terjaga dan industri dapat tumbuh berkelanjutan.

Lonjakan Ancaman Scam di Dunia Digital

Indonesia termasuk salah satu pasar fintech terbesar di Asia Tenggara. Berdasarkan laporan Bank Indonesia, nilai transaksi uang elektronik pada 2024 mencapai lebih dari Rp700 triliun, dan diproyeksikan terus meningkat pada 2025. Sementara itu, Asosiasi Fintech Indonesia (AFTECH) mencatat lebih dari 300 perusahaan fintech aktif beroperasi di berbagai layanan, mulai dari pembayaran, pinjaman, hingga wealth management.

Namun, pertumbuhan besar ini juga menghadirkan celah bagi kejahatan digital. OJK melaporkan, kasus penipuan digital terus meningkat dari tahun ke tahun. Modusnya beragam: phishing, social engineering, penggunaan identitas palsu, hingga manipulasi sistem verifikasi. Scam semacam ini tidak hanya menargetkan pengguna individu, tetapi juga berpotensi merugikan perusahaan fintech secara sistemik.

Kenapa Scam Masih Sulit Diberantas?

Meski regulasi semakin ketat, scam tetap tumbuh subur. Ada beberapa penyebab utama yang membuat ancaman ini sulit diatasi:

  1. Identitas Palsu dan Akun Ganda
    Banyak pelaku menggunakan data curian atau fiktif untuk mendaftar layanan digital. Tanpa verifikasi biometrik yang kuat, identitas palsu sulit terdeteksi.
  2. Rendahnya Edukasi Keamanan Digital
    Tidak semua masyarakat memahami risiko tautan palsu atau aplikasi ilegal. Celah edukasi ini dimanfaatkan scammer untuk menyebarkan jebakan investasi instan hingga phishing berkedok promosi.
  3. Kesenjangan Infrastruktur Keamanan
    Sebagian fintech masih mengandalkan sistem manual atau teknologi verifikasi dasar. Tanpa integrasi AI, machine learning, atau real-time scoring, aktivitas abnormal sulit dideteksi sejak awal.
  4. Evolusi Modus Scam
    Penjahat digital terus mengembangkan taktik baru. Jika dulu phishing lewat email mendominasi, kini scam muncul melalui aplikasi pesan instan, media sosial, bahkan deepfake video.

Respons Fintech: Perkuat Proteksi Digital

Menjawab tantangan ini, fintech Indonesia tidak tinggal diam. Ada tiga pilar utama yang kini menjadi fokus penguatan:

  1. Verifikasi Digital Real-Time
    e-KYC dengan dukungan biometrik seperti face match, liveness detection, dan dokumen digital resmi menjadi standar baru. Dengan teknologi ini, identitas palsu dapat dipangkas secara signifikan.
  2. Risk Scoring Berbasis AI & Big Data
    Teknologi risk scoring mampu membaca pola transaksi mencurigakan dalam hitungan detik. Data historis digabungkan dengan algoritma machine learning untuk menilai risiko pengguna secara akurat.
  3. Kepatuhan pada Regulasi (Compliance)
    OJK mewajibkan seluruh penyelenggara fintech mengikuti standar perlindungan data dan tata kelola risiko. Kepatuhan ini tidak hanya mencegah sanksi, tetapi juga meningkatkan kepercayaan investor dan pengguna.

Kasus Nyata: Sanksi OJK sebagai Alarm

Pada Agustus 2025, OJK menjatuhkan sanksi administratif kepada 24 perusahaan multifinance dan 19 fintech lending karena pelanggaran regulasi, termasuk lemahnya penerapan compliance. Sanksi ini menjadi pengingat keras bahwa keamanan digital bukan sekadar formalitas, melainkan fondasi bisnis.

Perusahaan yang gagal memperkuat sistem verifikasi dan perlindungan data berisiko kehilangan lisensi, menghadapi denda besar, serta ditinggalkan konsumen. Sebaliknya, pemain yang berinvestasi pada proteksi digital justru dipandang lebih kredibel dan siap bersaing di pasar yang semakin ketat.

Belajar dari Tren Global

Fenomena scam tidak hanya terjadi di Indonesia. Laporan World Economic Forum menempatkan kejahatan siber, termasuk scam digital, sebagai salah satu risiko global terbesar. Di Eropa, kerugian akibat penipuan online diperkirakan mencapai miliaran euro per tahun.

Negara-negara maju telah lebih dulu mengadopsi standar keamanan ketat, seperti PSD2 (Payment Services Directive 2) di Uni Eropa yang mewajibkan autentikasi ganda, serta regulasi KYC/AML di Amerika Serikat yang menekankan verifikasi ketat. Indonesia kini mengikuti jejak tersebut dengan memperkuat kebijakan digital trust.

Solusi Jangka Panjang: Keamanan sebagai Investasi

Di era digital, keamanan bukan lagi biaya tambahan, melainkan investasi. Dengan infrastruktur proteksi yang kuat, fintech tidak hanya mengurangi risiko kerugian akibat fraud, tetapi juga membangun reputasi jangka panjang.

Langkah yang perlu ditempuh antara lain:

  • Mengintegrasikan e-KYC dengan data pemerintah untuk memastikan validitas identitas.
  • Meningkatkan literasi digital masyarakat melalui kampanye edukasi bersama regulator.
  • Mengadopsi teknologi AI untuk pemantauan transaksi real-time.
  • Membangun ekosistem kolaboratif antara fintech, regulator, dan penyedia teknologi untuk berbagi data fraud.

Perusahaan yang menempatkan keamanan sebagai prioritas akan lebih siap menghadapi masa depan keuangan digital yang semakin kompetitif.

Bagi pelaku fintech maupun multifinance, melindungi pengguna sama artinya dengan melindungi bisnis. Sistem verifikasi digital, risk scoring yang akurat, dan compliance yang sesuai standar regulator dapat membantu mengurangi potensi pelanggaran sekaligus memperkuat kepercayaan pasar.

Jika bisnis Anda ingin tumbuh dengan aman dan berkelanjutan, sudah saatnya mengadopsi solusi digital yang mendukung proteksi penuh dari ancaman scam.🔗 Temukan solusi lengkapnya di beeza.id